Kasus Sosial Pada Masyarakat
Pedesaan
Definisi Desa menurut :
1.
Sukardjo Kartohadi
adalah suatu kesatuan hukum dimana bertempat tinggal suatu masyarakat
pemerintahan sendiri.
2.
Bintaro adalah merupakan
perwujudan atau kesatuan geografi, sosial, ekonomi, politik dan cultural yang
terdapat disuatu daerah dalam hubungannya dan pengaruhnya secara timbal-balik
dengan daerah lain..
3.
Paul H.Landis adalah
penduduknya kurang dari 2.500 jiwa dengan ciri-ciri sebagai berikut :
a. Mempunyai pergaulan hidup yang saling kenal mengenal antara
ribuan jiwa
b. Ada pertalian perasaan yang sama tentang kesukuan terhadap
kebiasaan
c. Cara berusaha (ekonomi) adalah agraris yang paling umum yang
sangat dipengaruhi alam sekitar seperti : iklim, keadaan alam, kekayaan alam,
sedangkan pekerjaan yang bukan agraris adalah bersifat sambilan.
Masyarakat pedesaan ditandai dengan pemilikan ikatan perasaan
batin yang kuat sesama warga desa, yaitu perasaan setiap warga/anggota
masyarakat yang amat kuat yang hakekatnya, bahwa seseorang merasa merupakan bagian
yang tidak dapat dipisahkan dari masyarakat dimanapun ia hidup dicintainya
serta mempunyai perasaan bersedia untuk berkorban setiap waktu demi
masyarakatnya atau anggota-anggota masyarakat, karena beranggapan sama-sama
sebagai masyarakat yang saling mencintai saling menghormati, mempunyai hak
tanggung jawab yang sama terhadap keselamatan dan kebahagiaan bersama di dalam
masyarakat.
Ciri-ciri masyarakat pedesaan antara lain :
1. Diantara warganya mempunyai hubungan yang lebih
mendalam dan erat bila dibandingkan dengan masyarakat pedesaan lainnya di luar
batas wilayahnya.
2. Sistem kehidupan umumnya berkelompok dengan dasar kekeluargaan
3. Sebagian besar warga masyarakat pedesaan hidup dari pertanian
4. Masyarakat tersebut homogen, deperti dalam hal mata
pencaharian, agama, adat istiadat, dan sebagainya
Didalam masyarakat pedesaan kita mengenal berbagai
macam gejala, khususnya tentang perbedaan pendapat atau paham yang sebenarnya
hal ini merupakan sebab-sebab bahwa di dalam masyarakat pedesaan penuh dengan
ketegangan–ketegangan sosial. Gejala-gejala sosial yang sering diistilahkan
dengan :
a. Konflik
b. Kontraversi
c. Kompetisi
d. Kegiatan pada masyarakat pedesaan
Konflik
masyarakat yang semula lebih bersumber pada sengketa agraria kemudian
berkembang lebih diwarnai oleh persoalan agama dan politik sebagaimana sumber
konflik yang terjadi di Pulau Ambon.
Bagaimanapun, dalam perkembangan selanjutnya ikatan kekerabatan dan ikatan adat
ditemukan tetap memegang peranan dalam menjaga pengaturan masyarakat.
Revitalisasi ikatan adat ini kemudian dijadikan media akomodasi dan strategi
dasar melakukan resolusi konflik. Strategi tersebut perlu diikuti oleh
penetapan keberadaan hak atas sumber daya alam serta lahan dari masyarakat.
Tanpa langkah ini, masyarakat pedesaan di pulau ini tetap berpotensi konflik.
Proses dari langkah ini pun perlu dijalankan bersamaan dengan penguatan ikatan
adat di aras Lembaga Latupati. Dengan langkahtersebut, masyarakat pedesaan
Pulau Saparua akan mempunyai kelembagaan masyarakat sebagai wadah untuk berkomunikasi
yang mengakar yang dapat menjadi bekal masyarakat mencegah pengulangan konflik
yang berlarut-larut dan berkepanjangan.
Study Kasus
Masyarakat Perkotaan dan Masyarakat Pedesaan
Dampak perubahan status desa menjadi kelurahan
terhadap kualitas pelayanan (studi kasus di kota tegal)
Masalah pelayanan publik yang menggejala dan
terjadi di Indonesia adalah masalah krisis kepercayaan masyarakat terhadap
pemerintah sebagai birokrasi publik. Gejala ini mulai nampak sejak jatuhnya
pemerintahan orde baru, yang kemudian diikuti dengan semakin rendahnya
kepercayaan masyarakat terhadap birokrasi publik. Krisis kepercayaan masyarakat
terhadap birokrasi publik ini ditandai dengan mengalirnya protes dan
demonstrasi yang dilakukan oleh berbagai komponen masyarakat terhadap birokrasi
publik, baik di tingkat pusat ataupun daerah. Pendudukan kantor-kantor
pemerintah, rumah dinas bupati dan kepala desa, dan perusakan berbagai
fasilitas publik menjadi fenomena yang sering ditemui di berbagai daerah. Ini
menunjukkan betapa besarnya akumulasi kekecewaan masyarakat terhadap birokrasi
publik. Karenanya, ketika pintu protes itu terbuka, maka mengalirlah semua
bentuk keluhan, kecaman, bahkan hujatan terhadap birokrasi publik. Krisis
kepercayaan terhadap birokrasi publik tersebut bisa dipahami mengingat
birokrasi publik pada masa itu menjadi instrumen yang efektif bagi penguasa
orde baru untuk mempertahankan kekuasaannya. Birokrasi publik, baik sipil
maupun militer, dalam rezim orde baru telah menempatkan dirinya lebih sebagai
alat penguasa daripada pelayan masyarakatnya. Kepentingan penguasa cenderung
menjadi sentral dari kehidupan dan perilaku birokrasi publik. Hal ini juga
tercermin dalam proses kebijakan publik yang lebih mementingkan kepentingan
penguasa dan seringkali menggusur kepentingan masyarakat banyak manakala
keduanya tidak berjalan bersama-sama. Kesempatan dan ruang yang dimiliki oleh
masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses kebijakan publik juga amat
terbatas. Akibatnya banyak kebijakan publik dan program-program pemerintah yang
tidak responsif dan mengalami kegagalan karena tidak memperoleh dukungan dari
masyarakat.
Sumber :
http://jurnalskripsitesis.wordpress.com/2007/06/15/dampak-perubahan-status-desa-menjadi-kelurahan-terhadap-kualitas-pelayanan-studi-kasus-di-kota-tegal/
Study Kasus Ilmu Pengetahuan, Teknologi dan
Kemiskinan
Kondisi keluarga fakir miskin
Kemiskinan sebagai suatu fenomena sosial tidak
hanya dialami oleh negara negara yang sedang berkembang tetapi juga terjadi di
negara yang sudah mempunyai kemapanan di bidang ekonomi. Fenomena ini pada
dasarnya telah menjadi perhatian, isu, dan gerakan global yang bersifat
kemanusiaan (humanity). Hal ini tercermin dari konferensi tingkat tinggi dunia
yang berhasil menggelar Deklarasi dan Program Aksi untuk Pembangunan Sosial (World
Summit in Social Development) di Compenhagen pada tahun 1995. Salah satu
fenomena sosial yang dipandang perlu penanganan segera dan menjadi agenda
Tingkat Tinggi Dunia tersebut adalah kemiskinan, pengangguran, dan pengucilan
sosial yang ada di setiap negara. Secara konstitusional, permasalahan dimaksud
telah dijadikan perhatian utama bangsa Indonesia sejak tersusunnya
Undang-Undang Dasar 1945.
Manifestasi dari komitmen Indonesia dimaksud
terlihat dari beberapa lembaga pemerintah maupun swasta yang mempunyai
konsentrasi dalam penanganan kemiskinan. Berbagai model penanganan kemiskinan
yang telah dijalankan cukup banyak, misalnya Program Kesejahteraan Sosial
Kelompok Usaha Bersama Keluarga Muda Mandiri (Prokesos KUBE KMM), Tabungan
Kesejahteraan Rakyat (Takesra), Kredit Usaha Kesejahteraan Rakyat (Kukesra),
Kredit Usaha Kecil Menengah, Jaring Pengaman Sosial (Social Safety Net Program)
dan lain-lain.
Pada dekade 1976-1996, persentase penduduk miskin
di Indonesia pernah mengalami penurunan yaitu dari 40,1% menjadi 11,3%, namun
pada periode 1996-1998 angka ini menjadi 24,29% atau 49,5 juta jiwa. Bahkan
International Labour Organization (ILO) memperkirakan jumlah orang miskin di
Indonesia mencapai 129,6 juta atau sekitar 66,3% (BPS, 1999). Pada tahun 2002, persentase
kemiskinan telah mengalami penurunan, namun secara absolut jumlah mereka masih
tergolong tinggi, yaitu 43% atau sekitar 15,6 juta (BPS dan Depsos 2002).
Diantara angka tersebut, diduga jumlah fakir miskin relatif banyak. Tanpa
mengurangi arti pentingnya pembangunan yang sudah dilakukan, angka kemiskinan
tersebut mengindikasikan konsep model yang dibangun belum mampu membentuk
sosial ekonomi masyarakat yang tangguh.
Beberapa koreksi dari para ahli menunjuk, bahwa
salah satu permasalahan yang mendasar adalah orientasi pembangunan ekonomi yang
kurang berpihak pada golongan berpenghasilan rendah ekonomi (grass root).
Kondisi ni tercermin dari konsentrasi industrialisasi berskala menengah ke
atas, sehingga sektor ekonomi yang dijalankan oleh sebagian besar masyarakat
kurang diperhitungkan. Menurut catatan Halwani (1999), sebagian besar (98,2%)
adalah unit usaha kecil dan industri rumah tangga dengan tenaga kerja sebanyak
3.484.408 orang (63,3%). Industri yang tergolong dalam usaha berskala besar dan
sedang (0,8%) dengan tenaga yang terserap sebanyak 1.691.435. (32,7%). Namun
jika hasil nilai tambah dari dua jenis kegiatan tersebut diperbandingkan, maka
hasil yang diperoleh dari sektor industri kecil masih jauh dari yang harapan
yakni sebesar 17,8% (Rp.2,03 trilyun), sedangkan industri berskala besar (0,8%)
telah memberikan nilai tambah Rp.9,35 trilyun (82,2%).
Dalam kerangka penanggulangan kemiskinan tersebut,
hampir semua kajian masalah kemiskinan berporos pada paradigma modernisasi (the
modernisation paradigm) dan the product cantered model yang kajiannya didasari
teori pertumbuhan ekonomi capital dan ekonomi neoclasic ortodox (Elson, 1977,
Suharto, 2002). Secara umum, pendekatan yang dipergunakan lebih terkonsentrasi
pada individual poverty sehingga aspek structural and social poverty menjadi
kurang terjamah. Dalam Suharto (2002) dikemukakan: In its standardised
conception of poverty, for example, the poor are seen almost as passive victims
and subjects of investigation rather than as human beings who have something to
contribute to both the identification of their condition and its improvement.
Beberapa pendekatan dimaksud tercermin dari tolok ukur yang digunakan untuk
melihat garis kemiskinan pada beberapa pendekatan seperti Gross National
Product (GNP), Human Development Index (HDI) dan Human Poverty Index (HPI),
Social Accounting Matrix (SAM), Physical Quality of Life Index (PQLI).
Berdasar uraian di atas dapat dikemukakan, bahwa
dalam mengatasi masalah kemiskinan diperlukan kajian yang menyeluruh (comprehensif),
sehingga dapat dijadikan acuan dalam merancang program pembangunan
kesejahteraan sosial yang lebih menekankan pada konsep pertolongan. Pada konsep
pemberdayaan, pemberdayaan dapat diartikan sebagai upaya untuk menolong yang
lemah atau tidak berdaya (powerless) agar mampu (berdaya) baik secara fisik,
mental dan pikiran untuk mencapai kesejahteraan sosial hidupnya. Dalam konteks
ini, mereka dipandang sebagai aktor yang mempunyai peran penting untuk
mengatasi masalahnya. Menurut Mujiyadi B. dan Gunawan (2000), pemberdayaan
merupakan suatu proses peningkatan kondisi kehidupan dan penghidupan yang
ditujukan kepada masyarakat miskin. Masyarakat miskin merupakan sumber daya
manusia yang berpotensi untuk berpikir dan bertindak yang pada saat ini
memerlukan “penguatan” agar mampu memanfaatkan daya (power) yang dimiliki.
Uraian ini mengisyaratkan, bahwa langkah awal dalam penanganan masalah
kemiskinan (keluarga fakir miskin) perlu diidentifikasi potensi yang mereka
miliki. Permasalahannya adalah bagaimana karakteristik potensi yang dimiliki
oleh masyarakat miskin.
Sumber : http://www.depsos.go.id/Balatbang/Puslitbang%20UKS/2005/gunawan.htm
Masalah social di
perkotaan
. banyaknya
kemiskinan, tingginya angka urbanisasi, angka pengangguran tinggi, banyak
kejahatan, mahalnya biaya kesehatan, minimnya kesejahteraan ibu & anak,
masalah kurangnya tempat tinggal, kurangnya area terbuka hijau, tingkat polusi
udara, air & suara yang tinggi, masalah sampah yang perlu penanganan,
sanitasi lingkungan, drainasi untuk pencegahan banjir dll.
selamat memilih,
semoga bisa membantu anda
Masyarakat Perkotaan
a. Pengertian Kota
Seperti halnya desa, kota juga mempunyai
pengertian yang bermacam-macam seperti pendapat beberapa ahli berikut ini.
i. Wirth
Kota adalah suatu pemilihan yang cukup besar,
padat dan permanen, dihuni oleh orang-orang yang heterogen kedudukan sosialnya.
ii. Max Weber
Kota menurutnya, apabila penghuni setempatnya
dapat memenuhi sebagian besar kebutuhan ekonominya dipasar lokal.
iii. Dwigth Sanderson
Kota ialah tempat yang berpenduduk sepuluh ribu
orang atau lebih.
Dari beberapa pendapat secara umum dapat dikatakan
mempunyani ciri-ciri mendasar yang sama. Pengertian kota dapat dikenakan pada
daerah atau lingkungan komunitas tertentu dengan tingkatan dalam struktur
pemerintahan.
Menurut konsep Sosiologik sebagian Jakarta dapat
disebut Kota, karena memang gaya hidupnya yang cenderung bersifat
individualistik. Marilah sekarang kita meminjam lagi teori Talcott Parsons
mengenai tipe masyarakat kota yang diantaranya mempunyai ciri-ciri :
a). Netral Afektif
Masyarakat Kota memperlihatkan sifat yang lebih
mementingkat Rasionalitas dan sifat rasional ini erat hubungannya dengan konsep
Gesellschaft atau Association. Mereka tidak mau mencampuradukan hal-hal yang
bersifat emosional atau yang menyangkut perasaan pada umumnya dengan hal-hal
yang bersifat rasional, itulah sebabnya tipe masyarakat itu disebut netral
dalam perasaannya.
b). Orientasi Diri
Manusia dengan kekuatannya sendiri harus dapat
mempertahankan dirinya sendiri, pada umumnya dikota tetangga itu bukan orang
yang mempunyai hubungan kekeluargaan dengan kita oleh karena itu setiap orang
dikota terbiasa hidup tanpa menggantungkan diri pada orang lain, mereka
cenderung untuk individualistik.
c). Universalisme
Berhubungan dengan semua hal yang berlaku umum,
oleh karena itu pemikiran rasional merupakan dasar yang sangat penting untuk
Universalisme.
d). Prestasi
Mutu atau prestasi seseorang akan dapat
menyebabkan orang itu diterima berdasarkan kepandaian atau keahlian yang
dimilikinya.
e). Heterogenitas
Masyarakat kota lebih memperlihatkan sifat
Heterogen, artinya terdiri dari lebih banyak komponen dalam susunan penduduknya.
b. Ciri-ciri masyarakat Perkotaan
Ada beberapa ciri yang menonjol pada masyarakat
perkotaan, yaitu :
i. Kehidupan keagamaannya berkurang, kadangkala
tidak terlalu dipikirkan karena memang kehidupan yang cenderung kearah
keduniaan saja.
ii. Orang kota pada umumnya dapat mengurus dirinya
sendiri tanpa harus berdantung pada orang lain (Individualisme).
iii. Pembagian kerja diantara warga-warga kota
juga lebih tegas dan mempunyai batas-batas yang nyata.
iv. Kemungkinan-kemungkinan untuk mendapatkan
pekerjaan juga lebih banyak diperoleh warga kota.
v. Jalan kehidupan yang cepat dikota-kota,
mengakibatkan pentingnya faktor waktu bagi warga kota, sehingga pembagian waktu
yang teliti sangat penting, intuk dapat mengejar kebutuhan-kebutuhan seorang
individu.
vi. Perubahan-perubahan tampak nyata dikota-kota,
sebab kota-kota biasanya terbuka dalam menerima pengaruh-pengaruh dari luar.
D. Perbedaan antara desa dan kota
Dalam masyarakat modern, sering dibedakan antara
masyarakat pedesaan (rural community) dan masyarakat perkotaan (urban
community). Menurut Soekanto (1994), per-bedaan tersebut sebenarnya tidak
mempunyai hubungan dengan pengertian masyarakat sederhana, karena dalam
masyarakat modern, betapa pun kecilnya suatu desa, pasti ada pengaruh-pengaruh
dari kota. Perbedaan masyarakat pedesaan dan masyarakat perkotaan, pada
hakekatnya bersifat gradual.
Kita dapat membedakan antara masya-rakat desa dan
masyarakat kota yang masing-masing punya karakteristik tersendiri.
Masing-masing punya sistem yang mandiri, dengan fungsi-fungsi sosial, struktur
serta proses-proses sosial yang sangat berbeda, bahkan kadang-kadang dikatakan
"berlawanan" pula. Perbedaan ciri antara kedua sistem tersebut dapat
diungkapkan secara singkat menurut Poplin (1972) sebagai berikut:
Warga suatu
masyarakat pedesaan mempunyai hubungan yang lebih erat dan lebih mendalam
ketimbang hubungan mereka dengan warga masyarakat pedesaan lainnya. Sistem
kehidupan biasanya berkelompok atas dasar sistem kekeluargaan (Soekanto, 1994).
Selanjutnya Pudjiwati (1985), menjelaskan ciri-ciri relasi sosial yang ada di
desa itu, adalah pertama-tama, hubungan kekerabatan.
Sistem kekerabatan dan kelompok kekerabatan masih
memegang peranan penting. Penduduk masyarakat pedesaan pada umumnya hidup dari
pertanian, walaupun terlihat adanya tukang kayu, tukang genteng dan bata,
tukang membuat gula, akan tetapi inti pekerjaan penduduk adalah pertanian.
Pekerjaan-pekerjaan di samping pertanian, hanya merupakan pekerjaan sambilan
saja .
Golongan orang-orang tua pada masyarakat pedesaan
umumnya memegang peranan penting. Orang akan selalu meminta nasihat kepada
mereka apabila ada kesulitan-kesulitan yang dihadapi. Nimpoeno (1992)
menyatakan bahwa di daerah pedesaan kekuasaan-kekuasaan pada umumnya terpusat
pada individu seorang kiyai, ajengan, lurah dan sebagainya.
Ada beberapa ciri yang dapat dipergunakan sebagai
petunjuk untuk membedakan antara desa dan kota. Dengan melihat perbedaan
perbedaan yang ada mudah mudahan akan dapat mengurangi kesulitan dalam
menentukan apakah suatu masyarakat dapat disebut sebagi masyarakat pedeasaan
atau masyarakat perkotaan.
Ciri ciri tersebut antara lain :
1) jumlah dan kepadatan penduduk
2) lingkungan hidup
3) mata pencaharian
4) corak kehidupan sosial
5) stratifiksi sosial
6) mobilitas sosial
7) pola interaksi sosial
8) solidaritas sosial
9) kedudukan dalam hierarki sistem administrasi
nasional
E. Hubungan Desa-kota, hubungan pedesaan-perkotaan.
Masyarakat pedesaan dan perkotaan bukanlah dua
komonitas yang terpisah sama sekali satu sama lain. Bahkan dalam keadaan yang
wajar diantara keduanya terdapat hubungan yang erat. Bersifat ketergantungan,
karena diantara mereka saling membutuhkan. Kota tergantung pada dalam memenuhi
kebutuhan warganya akan bahan bahan pangan seperti beras sayur mayur , daging
dan ikan.
Desa juga merupakan sumber tenaga kasar bagi bagi
jenis jenis pekerjaan tertentu dikota. Misalnya saja buruh bangunan dalam
proyek proyek perumahan. Proyek pembangunan atau perbaikan jalan raya atau
jembatan dan tukang becak. Mereka ini biasanya adalah pekerja pekerja musiman.
Pada saat musim tanam mereka, sibuk bekerja di sawah. Bila pekerjaan dibidang
pertanian mulai menyurut, sementara menunggu masa panen mereka merantau ke kota
terdekat untuk melakukan pekerjaan apa saja yang tersedia.
“Interface”, dapat diartikan adanya kawasan
perkotaan yang tumpang-tindih dengan kawasan perdesaan, nampaknya persoalan
tersebut sederhana, bukankah telah ada alat transportasi, pelayanan kesehatan,
fasilitas pendidikan, pasar, dan rumah makan dan lain sebagainya, yang
mempertemukan kebutuhan serta sifat kedesaan dan kekotaan.
Hubungan kota-desa cenderung terjadi secara alami
yaitu yang kuat akan menang, karena itu dalam hubungan desa-kota, makin besar
suatu kota makin berpengaruh dan makin menentukan kehidupan perdesaan.
Secara teoristik, kota merubah atau paling
mempengaruhi desa melalui beberapa caar, seperti:
(i) Ekspansi kota ke desa, atau boleh dibilang
perluasan kawasan perkotaan dengan merubah atau mengambil kawasan perdesaan.
Ini terjadi di semua kawasan perkotaan dengan besaran dan kecepatan yang
beraneka ragam;
(ii) Invasi kota , pembangunan kota baru seperti
misalnya Batam dan banyak kota baru sekitar Jakarta merubah perdesaan menjadi
perkotaan. Sifat kedesaan lenyap atau hilang dan sepenuhnya diganti dengan
perkotaan;
(iii) Penetrasi kota ke desa, masuknya produk,
prilaku dan nilai kekotaan ke desa. Proses ini yang sesungguhnya banyak terjadi;
(iv) ko-operasi kota-desa, pada umumnya berupa
pengangkatan produk yang bersifat kedesaan ke kota. Dari keempat hubungan
desa-kota tersebut kesemuanya diprakarsai pihak dan orang kota. Proses
sebaliknya hampir tidak pernah terjadi, oleh karena itulah berbagai
permasalahan dan gagasan yang dikembangkan pada umumnya dikaitkan dalam
kehidupan dunia yang memang akan mengkota.
Salah satu bentuk hubungan antara kota dan desa adalah :
a). Urbanisasi dan Urbanisme
Dengan adanya hubungan Masyarakat Desa dan Kota
yang saling ketergantungan dan saling membutuhkan tersebut maka timbulah
masalah baru yakni ; Urbanisasi yaitu suatu proses berpindahnya penduduk dari
desa ke kota atau dapat pula dikatakan bahwa urbanisasi merupakan proses
terjadinya masyarakat perkotaan. (soekanto,1969:123 ).
b) Sebab-sebab Urbanisasi
1.) Faktor-faktor yang mendorong penduduk desa
untuk meninggalkan daerah kediamannya (Push factors)
2.) Faktor-faktor yang ada dikota yang menarik
penduduk desa untuk pindah dan menetap dikota (pull factors)
Hal – hal yang termasuk push factor antara lain :
a. Bertambahnya penduduk sehingga tidak seimbang
dengan persediaan lahan pertanian,
b. Terdesaknya kerajinan rumah di desa oleh produk
industri modern.
c. Penduduk desa, terutama kaum muda, merasa
tertekan oleh oleh adat istiadat yang ketat sehingga mengakibatkan suatu cara
hidup yang monoton.
d. Didesa tidak banyak kesempatan untuk menambah
ilmu pengetahuan.
e. Kegagalan panen yang disebabkan oleh berbagai
hal, seperti banjir, serangan hama, kemarau panjang, dsb. Sehingga memaksa
penduduk desa untuk mencari penghidupan lain dikota.
Hal – hal yang termasuk pull factor antara lain :
a. Penduduk desa kebanyakan beranggapan bahwa
dikota banyak pekerjaan dan lebih mudah untuk mendapatkan penghasilan
b. Dikota lebih banyak kesempatan untuk
mengembangkan usaha kerajinan rumah menjadi industri kerajinan.
c. Pendidikan terutama pendidikan lanjutan, lebih
banyak dikota dan lebih mudah didapat.
d. Kota dianggap mempunyai tingkat kebudayaan yang
lebih tinggi dan merupakan tempat pergaulan dengan segala macam kultur
manusianya.
e. Kota memberi kesempatan untuk menghindarkan
diri dari kontrol sosial yang ketat atau untuk mengangkat diri dari posisi
sosial yang rendah ( Soekanti, 1969 : 124-125 ).
Kesimpulan
Manusia menjalani kehidupan didunia ini tidaklah
bisa hanya mengandalkan dirinya sendiri dalam artian butuh bantuan dan
pertolongan orang lain , maka dari itu manusia disebut makhluk sosial, sesuai
dengan Firman Allah SWT yang artinya : “ Wahai manusia! Sungguh Kami telah
menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami
jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal (
bersosialisasi ).....” (Al-Hujurat :13 ).
Oleh karena itu kehidupan bermasyarakat hendaklah
menjadi sebuah pendorong atau sumber kekuatan untuk mencapai cita-cita
kehidupan yang harmonis, baik itu kehidupan didesa maupun diperkotaan. Tentunya
itulah harapan kita bersama, tetapi fenomena apa yang kita saksikan sekarang
ini, jauh sekali dari harapan dan tujuan pembangunan Nasional negara ini,
kesenjangan Sosial, yang kaya makin Kaya dan yang Miskin tambah melarat , mutu
pendidikan yang masih rendah, orang mudah sekali membunuh saudaranya (dekadensi
moral ) hanya karena hal sepele saja, dan masih banyak lagi fenomena kehidupan
tersebut diatas yang kita rasakan bersama, mungkin juga fenomena itu ada pada
lingkungan dimana kita tinggal.
Sehubungan dengan itu, barangkali kita
berprasangka atau mengira fenomena-fenomena yang terjadi diatas hanya terjadi
dikota saja, ternyata problem yang tidak jauh beda ada didesa, yang kita sangka
adalah tempat yang aman, tenang dan berakhlak (manusiawi), ternyata telah
tersusupi oleh kehidupan kota yang serba boleh dan bebas itu disatu pihak
masalah urbanisasi menjadi masalah serius bagi kota dan desa, karena masyarakat
desa yang berurbanisasi ke kota menjadi masyarakat marjinal dan bagi desa
pengaruh urbanisasi menjadikan sumber daya manusia yang produktif di desa
menjadi berkurang yang membuat sebuah desa tak maju bahkan cenderung tertinggal.
Saran - saran
Pembangunan Wilayah perkotaan seharusnya
berbanding lurus dengan pengembangan wilayah desa yang berpengaruh besar
terhadap pembangunan kota. Masalah yang terjadi di kota tidak terlepas karena
adanya problem masalah yang terjadi di desa, kurangnya sumber daya manusia yang
produktif akibat urbanisasi menjadi masalah yang pokok untuk diselesaikan dan
paradigma yang sempit bahwa dengan mengadu nasib dikota maka kehidupan menjadi
bahagia dan sejahtera menjadi masalah serius. Problem itu tidak akan menjadi
masalah serius apabila pemerintah lebih fokus terhadap perkembangan dan
pembangunan desa tertinggal dengan membuka lapangan pekerjaan dipedesaan
sekaligus mengalirnya investasi dari kota dan juga menerapkan desentralisasi
otonomi daerah yang memberikan keleluasaan kepada seluruh daerah untuk
mengembangkan potensinya menjadi lebih baik, sehingga kota dan desa saling
mendukung dalam segala aspek kehidupan.
Referensi
Ahmadi, Abu, Drs. 2003. Ilmu Sosial Dasar.
Jakarta: Rineke Cipta.
Kosim, H, E. 1996. Bandung: Sekolah Tinggi Bahasa
Asing Yapari
Marwanto, 12 November 2006. Jangan bunuh desa
kami. Jakarta:Kompas
_______, 1994. Sosiologi 3 SMU. Jakarta: Yudistira